Ulama dan Pesantren di Betawi: Menjaga Tradisi Keilmuan Islam

Oleh : Murodi al-Batawi

Para pengajar dan pendakwah ajaran agama Islam merupakan tokoh agama yang memiliki status sosial tersendiri dalam struktur masyarakat Betawi. Ia memiliki status sosial keagamaan tertinggi dalam komunitas masyarakat Betawi, dari dahulu hingga sekarang.

Bacaan Lainnya

Seorang Ulama, Syeikh, Mu’allim, Guru atau Tuan Guru, Ustadz atau Kyai, meniliki pengaruh, selain status sosial keagamaan tertinggi di Betawi, terutama dari aspek keilmuan, kharisma, perilaku atau akhlak, kepada masyarakat Betawi. Masyarakat selalu menjadikan mereka sebagai panutan, role model, dalam setiap aspek kehidupan.

Peran dan Fungsi Ulama di Betawi

Secara umum, menurut Zamakhsyari, peran dan fungsi dalam Tradisi Pesantren, LP3ES, ulama, termasuk di Betawi tidak berbeda dengan peran dan fungsi ulama di tempat lain. Ia menjadi model bagi masyarakat dan menjadi panutan.

Karena apapun yang dikatakan dan dilakukan akan menjadi rujukan bagi masyarakat Betawi. Karena itu, seorang tokoh agama harus bisa memberikan contoh kepada masyarakat, termasuk masyarakat Betawi, jika masyarakatnya ingin lebih baik. Masyarakat Betawi selalu mematuhi fatwa dan perintah serta petunjuk para ulama mereka.

Disamping sebagai role model bagi masyarakat, para ulama di Betawi selalu didatangi, bukan hanya untuk mencari dan belajar ilmu agama, juga sering meminta do’a dan pengobatan untuk penyembuhan penyakit. Karena, secara teoritis, menurut Zamakhsyari, para ulama juga berperan sebagai thabib, untuk membantu pengobatan buat masyarakat, sebelum mereka pergi ke dokter.

Selain itu, para ulama juga, menurut Zamakhsyari, berperan sebagai Cultural Brocker, sebagai agen budaya. Biasanya, jika ada budaya baru, masyarakat Betawi selalu bertanya dan berdiskusi dengan para ulama, apakah budaya tersebut dibenarkan oleh Islam dan para ulama memberikan jawaban sembari memberikan dalil naqli dan dalil aqli. Setelah mendapatkan jawaban, yang menurut mereka, cukup memuaskan, mereka merasa tenang menjalani kehidupan di Betawi.

Selain mendatangi para ulama secara pribadi, masyarakat Betawi biasa berjumpa dengan para Ulama dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan di Majlis Ta’lim yang dimiliki ulama tersebut atau pada Majlis Ta’lim lain tempat ulama Betawi itu mengajar.

Para ulama di Betawi, sejak dahulu hingga kini, menjadikan Majlis Ta’lim sebagai media pengajaran ilmu agama. Dari sini kemudian mereka mendirikan lembaga pendidikan, semisal Madrasah atau Pesantren. Model pendirian pondok pesantren, selalu mengikuti tradisi pondok pesantren di Jawa atau di daerah Pasundan.

Biasanya, sekali lagi menurut Zamakhsyari, dalam pendirian pondok pesantren ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama, adanya bangunan tempat tinggal para santri. Kedua, ada bangunan masjid. Ketiga, bangunan lembaga pendidikan, dan terakhir, serta juga sangat penting adalah tempat tinggal kyai.

Masing-masing bangunan memiliki fungsi yang sangat penting. Bangunan pertama pondok. Pondok, menurut Zamakhsary Dhofier, dalam Tradisi Pesantren, LP3ES, menjadi bagian strategis dalam sebuah pesantren, karena ia akan menampung para santri yang datang dari berbagai lapisan masyarakat yang mau belajar ilmu agama (tafaqquh fi al-dien).

Kemudian, dalam struktur santri, biasanya ada yang disebut santri kalong dan santri muqimin. Para santri kalong adalah para santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren Jabodetabek, yang setelah belajar, mereka pulang dan tidak menginap di pondok pesantren tersebut.

Sementara santri Muqiemin adalah para santri yang memang telah menutuskan untuk tinggal dan menetap di pondok pesantren, sehingga waktu yang mereka punyai lebih banyak untuk belajar dan mengkaji ilmu dengan para Asatidz dan kyainya. Mereka inilah kemudian setelah cukup lama belajar dan menetap sering disebut sebagai Ustadz, yang menggantikan posisi kyai dalam mengajar ilmu dasar, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fsthul Qarib, Fathul Mu’in, Kifaystul Akhyar, Kawakib al-Durriyah, dan lain sebagainya.

Mereka belajar mengikuti tradisi di pondok pesantren di Jawa, semisal Sorogan, Wetonan dan Bandongan.(Dhofier) Sorogan dilakukan oleh seorang santri yang ingin mengaji secara individu dengan membawa kitab khusus yang akan dia pelajari. Sementara wetonan, ada jadual khusus, yang diberikan oleh ulama untuk para santri untuk belajar atau memperdalam ilmu agama dengan seorang ulama.

Sedangkan Bandongan, para santri belajar pada seorang ulama secara beramai dan bersama di suatu majlis (Dhofier). Seorang kyai atau ulama duduk di hadapan para santri yang melingkar mengelilingi ulama tersebut. Dengan mengkaji suat kita kuning tertentu. Tradisi ini hingga kini masih tetap dipertahankan.

Kemudian bangunan Masjid diperlukan, selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat mendaras ilmu agama.

Disamping itu, bagi Pondok Pesantren Modern, diperlukan juga adanya lembaga pendidikan formal, seperti Madrasan atau Sekolah, mulai dari TK/RA hingga Perguruan Tinggi. Pendirian lembaga ini bukan hanya sekadar merespon zaman, juga merupakan jawaban langsung pihak pesantren terhadap tuntutan orang tua. Para orang tua menghendaki agar selesai belajar di pondok pesantren, selain memiliki ijazah pondok ( Syahadah), juga memiliki ijazah resmi yang diakui negara, sehingga para alumninya dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi, seperti Insitut, Sekolah Tinggi stau Universitas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di antara Pondok Pesantren di Betawi yang seperti terdapat pada Pondok Pesantren Asysyafi’iyyah, yang didirikan KH. Abdullah Syafi’i, yang telah memilik Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan dari Tingkat TK/RA, hingga Perguruan Tinggi, UIA ( Universitas Islam Asysyafi’iyya), Pondok Pesantren Aththahiriyah dengan UNIAT (Universitas Islam Aththahiriyah), Pondok Pesantren al-Taqwa di Bekasi yang juga telah memiliki lembaga mulai dari TK/RA, hingga STAI al-Taqwa(Sekolah Tinggi Agama Islam al-Taqwa). Dan madih banyak Pondok Pesantren fi daerah Betawi yang terus tumbuh dan mengalami perjembangan dan kemajuan luar biasa. Pada lembaga inilah para ulama dan para sarjana mengabdikan diri untuk mengembangkan pendalaman ilmu agama Islam (Tafaqquh fi al-Dien). {Odie}.

Pamulang, 30 April 2024.
Murodi al-Batawi

Pos terkait