Gerbang Betawi: Peran Organisasi Etnis dalam Proses Transformasi Persepsi dan Eksistensi

Oleh: Sofwatun Nida

Latar Belakang

Bacaan Lainnya

Orang Betawi pernah menjadi penduduk dominan di Jakarta sebelum masa pembangunan.  Setelah masa pembangunan, populasi orang Betawi di Jakarta terus mengalami penurunan hingga mencapai suatu titik bahwa orang Betawi tidak lagi menjadi mayoritas bahkan cenderung minoritas secara demografi. Pembangunan semakin gencar dilakukan seiring dengan ditetapkan-nya Kota Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pembangunan Kota Jakarta yang semakin berkembang tidak beriringan dengan kesejahteraan orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta yang ikut berperan dalam proses pembangunan tersebut.

Dampak yang diterima oleh orang Betawi akibat pembangunan tersebut ialah proses marjinalisasi secara demografi dengan tersingkirnya orang Betawi ke daerah pinggiran Jakarta. Selain itu, pembangun-an Kota Jakarta memicu datangnya penduduk dari luar Jakarta untuk mengadu nasib di Jakarta yang menimbulkan adanya tingkat persaingan antara orang Betawi dan pendatang. Semakin lama, penduduk luar yang datang ke Jakarta semakin banyak dan menyebabkan tingkat persaingan semakin ketat.

Bagi orang Betawi yang memiliki ekonomi dan pendidikan yang memadai mungkin akan dapat bersaing dengan para pendatang tersebut. Namun, bagi orang Betawi yang secara ekonomi dan pendidikan rendah, maka mereka akan kembali mengalami proses marjinalisasi secara sosial dan ekonomi karena orang Betawi tersebut tidak mampu bersaing dengan para pendatang tersebut.

Secara demografi, orang Betawi memang tidak lagi memiliki posisi dominan pertama di Jakarta sebagai penduduk aslinya. Meskipun demikian, secara budaya, orang Betawi memiliki dominasi di Jakarta. Betawi menjadi kebudayaan dominan di Jakarta dengan dikeluarkannya tiga kebijakan mengenai penerapan budaya lokal Betawi sebagai kebudayaan yang mewarnai Kota Jakarta sekaligus pelestarian budaya Betawi, seperti Perda DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015 Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi; Pergub No. 229 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi, dan Pergub No. 229 Tahun 2017 Tentang Ikon Budaya Betawi.

Melalui penerapan kebijakan-kebijakan ini, kita dapat melihat bahwa secara budaya, Betawi diakui sebagai kebudayaan asli Jakarta oleh pemerintah setempat. Penerapan kebijakan ditunjukkan oleh pemerintah seperti pada penggunaan kebudayaan-kebudayaan Betawi, seperti ondel-ondel di setiap acara seremonial Pemprov DKI Jakarta dan gedung-gedung pemerintahan di Jakarta, juga penggunaan baju sadariah dan kebaya kerancang sebagai salah satu seragam bagi pegawai pemerintah DKI Jakarta.

Hal ini menunjukkan bahwa orang Betawi sebagai penduduk asli di Jakarta masih memiliki dominasi yang kuat terhadap kotanya sendiri dari segi budayanya. Akan tetapi, hal itu nampaknya tidak berdampak kepada kekuatan sosial orang Betawi sebagai sebuah masyarakat diJakarta. Menurut data Susenas Tahun 2004 (Ariyanti, 2011), jumlah penduduk miskin pada orang Betawi lebih banyak dibanding pendatang. Jika secara demografi orang Betawi cenderung minoritas, namun dari segi jumlah penduduk miskin justru jumlah orang Betawi lebih banyak dibanding pendatang. Ini menjadi perhatian khusus bagi orang Betawi terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan karena kedua hal tersebut berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan ekonomi manusia.

Posisi lemah inilah yang menjadikan orang Betawi memiliki persepsi dan stereotip negatif yang melekat menjadi imej orang Betawi. Kehidupan sosial bermasyarakat mereka masih dipandang sebelah mata sebagai penduduk asli Jakarta. Hal inilah yang menjadi landasan berdirinya Gerbang Betawi dalam rangka merubah persepsi dan stereotip negatif tersebut dengan membentuk masyarakat Betawi yang unggul dan bermartabat.

Berdasarkan latar belakang di atas, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  1. Bagaimana peran Gerbang Betawi sebagai organisasi etnik dalam proses tranformasi orang Betawi?
  2. Bagaimana proses transformasi berperan pada struktur masyarakat Betawi?

Modal Sosial Gerbang Betawi dalam Proses Transformasi

Gerbang Betawi adalah sebuah organisasi pergerakan perubahan Betawi yang bertujuan mengangkat marwah orang Betawi sebagai salah satu bentuk proses transformasinya, yaitu dengan mengusung program pemberdayaan untuk orang Betawi. Program pemberdayaan inilah yang menjadi bagian dari proses transformasi yang dilakukan Gerbang Betawi untuk orang Betawi dan hal ini juga yang membedakan dirinya dengan organisasi-organisasi Betawi lainnya. Selain itu, Gerbang Betawi memiliki potensi-potensi yang menjadi nilai modal bagi Gerbang Betawi dalam proses melakukan transformasi.

Dalam upayanya melakukan proses transformasi, Gerbang Betawi memiliki modal-modal sosial seperti yang telah disebutkan oleh Bourdieu (Field, 2011) yaitu,

  1. Modal ekonomi : mencakup hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat produksi, materi, dan uang;
  1. Modal budaya : berkaitan dengan nilai-nilai budaya Betawi sebagai landasan pemikirannya dalam menjalankan organisasi Gerbang Betawi;
  1. Modal sosial : jaringan sosial yang dimilik oleh Gerbang Betawi berupa kesinergisan GB dengan pihak lain;
  1. Modal simbolik : berkaitan dengan kekuasaan atau kemampuan dalam meraih tujuan.

Model Kebudayaan Dominan dalam Konteks orang Betawi di Jakarta

Dalam hipotesis kebudayaan dominan Bruner (1974, dalam Suparlan, 1999: 230) terdiri dari tiga unsur:

  1. Dominasi secara Demografi Sosial

Demografi sosial mencakup rasio populasi dan corak heterogenitas serta tingkat percampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada dalam sebuah konteks latar tertentu. Orang Betawi bukan lagi sebagai penduduk dominan di Jakarta merupakan sebuah fakta yang harus dihadapi oleh orang Betawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang Betawi tidak memiliki dominasi secara demografi sosial karena sebagai penduduk asli Jakarta, orang Betawi tidak menempati posisi pertama sebagai penduduk dominan atau mayoritas pertama di Jakarta

Posisi tersebut kemudian diisi oleh orang Jawa dan Madura dengan penduduk sebanyak 3,534juta jiwa (37%) (BPS, 2010) dari seluruh populasi penduduk di Jakarta. Hal ini menjadikan orang Betawi sebagai salah satu bahkan satu-satunya kasus yang paling besar dengan penduduk asli yang tidak menjadi penduduk dominan di tempat asalnya di Indonesia.

  1. Dominasi secara Kebudayaan

Kemantapan atau dominasi kebudayaan suku bangsa setempat, bila ada, dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-anggota kelompok-kelompok suku bangsa pendatang dalam berhubungan dengan suku-suku bangsa setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta pengartikulasiannya. Dengan landasan hukum yang kuat[3], posisi Jakarta selain sebagai ibukota negara, juga sebagai provinsi yang diberikan kedudukan untuk mengatur kotanya sendiri sesuai dengan kehendaknya sendiri. Namun sayangnya, dalam hal ini, status dan identitas orang Betawi atau kebudayaan Betawi tidak dimasukkan ke dalam kebijakan serta tidak menjadi bagian dalam program pemerintahan Jakarta.

Padahal dalam kebijakan UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah seharusnya memperhatikan penduduk lokal sebagai bagian dari masyarakat Daerah Otonom. Kebijakan mengenai otonomi daerah yang diberlakukan sejak tahun 1999 tidak membawa perubahan yang berarti dalam rangka menyejahterakan orang Betawi hingga akhirnya pada bulan Desember 2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengadakan kongres sebagai ajang dan upaya melestarikan kebudayaan Betawi yang sesuai amanat UU No. 29/2007 tentang Pemprov DKI Jakarta dan SKB Menbudpar dan Mendagri No. 40 dan No.  42 tahun 2008 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan (Windarsih, 2011).

Setelah beberapa tahun, hasil dari kongres tersebut membuahkan hasil dengan dikeluarkannya tiga kebijakan dasar hukum tentang implementasi pelestarian budaya Betawi, yaitu Perda DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015 Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi; Pergub No. 229 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaaan Betawi; dan Pergub DKI Jakarta No.  11 Tahun 2017 Tentang Ikon Budaya Betawi. Melalui tiga kebijakan ini, semakin memperkuat bahwa kebudayaan Betawi sebagai kebudayaan dominan Betawi di Jakarta.

  1. Dominasi secara Kekuatan Sosial

Keberadaan dari kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antar berbagai kelompok suku bangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut, seperti contoh pada kebudayaan Sunda di Bandung (Suparlan, 2006). Dalam hal kebudayaan, kebudayaan Sunda menjadi suatu dominasi tersendiri karena dapat masuk hingga ke ranah kebijakan pemda setempat.  Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemda Bandung akan selalu bersentuhan dengan kebudayaan Sunda. Secara keberadaan dari kekuatan sosial, hampir semua orang Sunda mengisi seluruh lapisan kekuasaan di Bandung, terutama di pemerintahan. Kaitannya dalam konteks orang Betawi di Jakarta tidak dapat disamakan dengan apa yang dialami orang Sunda di Bandung.

Pertama, secara demografi, orang Betawi bukan merupakan penduduk dominan atau mayoritas pertama di Jakarta. Meskipun demikian, secara kebudayaan, budaya Betawi memiliki dominasi yang kuat yang berdampak kepada eksistensi orang Betawi sebagai penduduk asli di Jakarta. Kemudian yang kedua, yaitu keberadaan dari kekuatan sosial dari orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak begitu muncul.

Hal ini dapat terlihat dari langkanya orang Betawi terpilih sebagai gubernur di Jakarta. Selain itu, masih minoritasnya orang Betawi yang menjabat sebagai anggota birokrat di pemerintahan Jakarta sebagai pembuat dan penentu kebijakan di Jakarta. Ini dapat mengindikasikan bahwa keberadaan sosial orang Betawi sebagai bagian dari masyarakat Jakarta belum kuat di antara berbagai kelompok masyarakat lainnya.

Proses Transformasi dalam Persepsi dan Eksistensi

Dalam proses transformasi, Giddens (dalam Nashir, 2012) mengakui konsep kekuasaan sebagai kemampuan transformatif, yang mendahului subjektivitas atau terbentuknya kemampuan introspeksi dan mawas diri, yang dalam ilmu sosial pada umumnya bersifat dualisme antara subjek dan objek. Dalam konsepsi tersebut kekuasaan-kekuasaan kerap kali didefinisikan dalam kaitan dengan maksud atau kehendak, yakni sebagai “kemampuan untuk menggapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksudkan”. Gerbang Betawi terdiri dari orang-orang dengan sumber daya manusia yang terpilih. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang professional yang memiliki jabatan dan kekuasaan tinggi di masyarakat.

Jika melihat hal ini, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang dalam Gerbang Betawi merupakan sekelompok elite. Elite memiliki relasi dengan kekuasaan. Berdasarkan hal ini, jika dikaitkan dengan sebelumnya, yaitu konsep kekuasaan sebagai konsep transformatif, maka dalam hal ini, Gerbang Betawi sebagai sebuah agensi memiliki konsep tersebut.

Berdasarkan definisi yang disebutkan oleh Bourdieu dan Wacquant (Field, 2011) mengenai modal sosial, Gerbang Betawi sebagai organisasi Betawi memiliki sumberdaya yang berkumpul di dalam organisasi dan terbentuk karena jaringan sosial yang bertahan lama yang kemudian jaringan sosial tersebut telah terinstitusionalisasi menjadi Gerbang Betawi. Selain itu, dalam praktik sosialnya, Gerbang Betawi juga memiliki keempat modal yang dimaksud Bourdieu di atas. Modal ekonomi berupa meliputi gedung dan uang kekayaan Gerbang Betawi; modal budaya yaitu berupa anggota-anggota Gerbang Betawi merupakan anggota yang terseleksi yang terdiri dari tokoh-tokoh Betawi; modal sosial atau jaringan sosial yaitu berupa jaringan sosial yang terbentuk sejak lama sebelum dibentuknya Gerbang Betawi; dan modal simbolik meliputi berupa status dan prestise yang dimiliki oleh anggota-anggota Gerbang Betawi.

Bain dan Hicks (Syahra, 2003) mengajukan dua dimensi modal sosial sebagai kerangka konseptual untuk mengembangkan alat pengukur tingkat keberadaan modal sosial. Dimensi pertama yang disebutnya dimensi kognitif, berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, Gerbang Betawi memiliki dimensi kognitif yang berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi sistem yang disepakati bersama dalam menentukan tolok ukur personal dan sosial dan masyarakat.

Gerbang Betawi sebagai agensi yang menciptakan struktur, memproduksi nilai-nilai yang akan menjadi sistem dengan mencitrakan kepribadian utama dan ciri masyarakat Betawi. Lalu dimensi berikutnya yaitu dimensi struktural, yang berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat. Gerbang Betawi dalam dimensi struktural merupakan sebuah organisasi kesukuan yang berperan sebagai agen perubahan yang dapat menggerakkan transformasi orang Betawi dalam menciptakan kondisi dan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Kesimpulan

Kemunculan Gerbang Betawi sebagai sebuah agensi yang mewadahi proses transformasi persepsi dan eksistensi bagi orang Betawi ini dapat menjadi ‘titik balik kebetawian ke-2’ setelah yang dilakukan Ali Sadikin saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966-1977. Individu-individu yang tergabung ke dalam Gerbang Betawi melakukan gerakan transformasi bersama-sama melalui kegiatan-kegiatan dan program-program yang mereka lakukan. Pada akhirnya, pergerakan transformasi ini bahkan tidak hanya menciptakan kondisi dan kualitas kehidupan orang Betawi yang lebih baik, namun juga akan membawa ke arah pembentukan emosi nasionalisme Betawi, yang tidak lagi menjadi bagian dari sebuah bangsa  Melayu, tetapi sebagai sebuah bangsa yaitu bangsa Betawi.

[1] Merupakan sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi dengan judul yang sama yang telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

[2] Menurut BPS (2010), orang Betawi di Jakarta sebanyak 2,7juta jiwa (28,3%) dan menempati peringkat kedua sebagai suku dengan penduduk terbanyak di Jakarta

[3] Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pos terkait